Kisah Sekolah di Perbatasan yang Berada di Kolong Rumah Penduduk


NUNUKAN (MI) : Kesahajaan terlihat dari lokasi sebuah sekolah yang masih numpang di kolong rumah penduduk. Meski berada di kolong, ruang kelas yang hanya beberapa kelas dengan sekat sederhana tersebut terlihat bersih dan rapi.

Tidak ada meja kursi seperti sekolah pada umumnya, tapi hanya terlihat beberapa deret meja ala kadarnya dari triplek setinggi 40 cm dan karpet plastik sebagai tempet lesehan. Pada dinding kayu yang dicat hijau tertempel ijazah penghargaan yang berjajar dengan poster huruf abjad dan huruf arab serta foto-foto kegiatan sekolah.

Sekolah tapal batas di Desa Limau Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara ini hanya menempati satu ruang seluas 6 X 9 meter yang sebagian ruangnya hanya disekat dengan potongan triplek sebagai tanda batas ruang satu dengan ruang lainnya. Di sekolah yang hanya memiliki 2 ruang belajar ini menampung murid-murid dari TK hingga setingkat SMP.

Seluruh anak didik di sini merupakan anak-anak warga Indonesia di mana orang tua mereka bekerja sebagai buruh di perusahaan sawit Malaysia. Keberadaan sekolah yang berada persis di tapal batas dua negara tersebut memang untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak buruh kebun kelapa sawit milik perusahaan warga Malaysia yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan karena jauhnya perkampungan mereka.
Sebanyak 4 guru pengajar di sekolah perbatasan ini pun lebih sering tidak menerima insentif, meski begitu jiwa pengabdian agar anak-anak buruh kebun sawit di Malaysia ini mampu mengecap pendidikan sangatlah tinggi.

“Mereka lebih sering tidak menerima insentif, tetapi jiwa pengabdian membuat mereka tetap bertahan menyelenggarakan pendidikan untuk anak anak buruh kelapa sawit,” ujar Nursan Wakil Ketua DPRD Nunukan yang berkesempatan mengunjungi keberadaan sekolah tapal batas tersebut, Kamis (19/02/2015).

Nursan berharap pemerintah daerah maupun pusat bisa sedikit memberikan perhatian terhadap keberadaan sekolah sekolah yang tetap semangat melaksanakan proses belajar mengajar di tengah keterbatasan. Pola pikir betapa pentingnya pendidikan di masa yang akan datang bagi generasi penerus bangsa yang lahir di wilayah perbatasan seharusnya mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.
“Murid SD dan SMP itu muridnya ada 40 orang, masuknya siang mulainya pukul 14:00 Wita. Kalau pagi murid murid TK dan paud jumlahnya sekitar 20 orang,” imbuh Nursan.

Kurang perhatian pemerintah

Setelah mengunjungi sekolah perbatasan, Nursan berharap adanya sedikit perhatian dari pemerintah pusat terkait kebutuhan infrastruktur seperti bangku, papan tulis dan buku. Hal ini penting untuk tetap menjaga semangat para siswa.

“Sungai Lemo itu sudah terujung, artinya kita harus sadar bahwa ternyata masih ada semangat untuk menuntut ilmu dari anak anak buruh sawit yang berada di perbatasan. Ya setidaknya di sentuhlah dengan insentif bagi pengajar yang memang jarang diterima oleh mereka,” ujar Nursan.

















Sumber : KOMPAS