Mengakhiri Jebakan Alutsista Renta


Jakarta (MI) : Peristiwa terbakarnya pesawat tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara karena gagal lepas landas di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, kemarin, lagi-lagi menjadi tamparan memalukan dan memilukan bagi negeri ini. 

Memalukan karena sebagai negara besar, kita tak kunjung bisa lepas dari olok-olok ihwal rapuhnya kualitas alat-alat tempur kita. Memilukan karena lagi-lagi prajurit kita harus bersabung nyawa bukan di medan laga melawan musuh, melainkan berhadapan dengan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sudah renta.

Apalagi, pesawat tempur yang terbakar tersebut merupakan satu dari lima pesawat bekas yang dipesan dari Amerika Serikat yang sudah tiba di Tanah Air pada September 2014.Total ada 24 pesawat tempur bekas sejenis yang dipesan dari `Negeri Paman Sam' yang akan datang secara bertahap.

Kita sempat berbunga-bunga ketika secara gegap gempita Kementerian Pertahanan di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menggaungkan peremajaan alutsista TNI.
Bahkan, ketika itu, sejumlah kalangan menyebutkan dengan mendatangkan pesawat tempur dalam jumlah besar dari Amerika Serikat itu, kekuatan tentara kita jadi yang paling mantap di Asia Tenggara.

Namun, kenyataan pahit harus kembali ditelan ketika kita mendapati fakta bahwa pesawat tempur bekas tersebut su dah berusia sekitar 30 tahun.Benar bahwa pesawat yang terbakar itu sudah dimodifikasi dan dimutakhirkan.

“Pesawat ini sudah program, sudah kontrak, sudah bayar, 24 pesawat ini sudah dimodifikasi, sudah diupgrade, jadi layak pakai,“ kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna.
Namun, sehebat apa pun modifikasi dan pemutakhiran itu tak akan mampu melawan `takdir' usia renta alutsista. Karena itu, pemegang kebijakan di Republik ini tidak boleh meremehkan begitu saja ihwal kebaruan pesawat tempur tersebut.

Negara ini sudah cukup lelah mendengar cemoohan terkait dengan rendahnya kualitas alat-alat tempur kita yang sudah renta. Anak bangsa ini juga sudah terlalu banyak yang gugur, bukan karena bertempur mempertahankan kedaulatan negara, melainkan karena peralatan tempur yang mereka gunakan mengalami kecelakaan.

Kita jelas tidak ingin kecolongan lagi dalam hal lain.Karena itu, setiap kejadian di dalam lingkup sistem pertahanan negara hendaknya jangan pernah dianggap sebagai peristiwa kecil. Kendati kebakaran pesawat itu tidak sampai merenggut nyawa prajurit, ia tetaplah noda yang mesti dibersihkan.

Semakin banyak peristiwa memalukan dan memilukan di bidang alutsista terjadi, kian buram pula potret negara ini dalam bidang pertahanan negara, serta semakin hebat pula kampanye buruk yang bakal ditangkap oleh negara lain, mungkin dengan penuh sukacita.
Apalagi saat ini kita masih menyimpan problem kedaulatan yang masih terus membutuhkan pembenahan. Di bidang pertanian, misalnya, kita belum sepenuhnya berdaulat karena masih banyak `tangan-tangan kotor' memainkan komoditas impor.

Kita tidak menginginkan negara ini juga tak kunjung berdaulat di bidang pertahanan. Negara yang berdaulat jelas memerlukan sistem pertahanan yang mumpuni.
Jumlah anggaran pertahanan Indonesia yang baru mencapai 0,86% dari produk domestik bruto (PDB) mesti ditingkatkan hingga menuju ideal seperti di negara maju, yakni di atas 1% dari total PDB.

Tentara profesional, alutsista modern, dan pengamanan alat-alat vital pertahanan ialah bagian dari sistem yang kualitasnya harus terus ditingkatkan.
Jika melupakan itu, sama artinya negara ini sedang mengikis kedaulatannya sendiri. 













Sumber : Metrotvnews