Jakarta (MI) : Di sela-sela rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, kemarin (17/4), yang membahas persiapan Konferensi Asia Afrika, muncul pernyataan mengejutkan dari Presiden Joko Widodo. Dia tiba-tiba mengkritik tata kelola global yang kini tidak adil bagi semua negara.
Secara spesifik, kritik presidenlangsung tertuju ke Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB). Kritik ini terangkai dalam pesannya kepada tim Sekretariat Negara, Staf Presiden, dan Kementerian Luar Negeri, agar merancang naskah pidato yang menyinggung keadilan internasional di hadapan peserta KAA.
"Saya ingin pesan mengenai tatanan baru. Terutama, menurut saya, pesan mengenai keseimbangan global. Keadilan global yang kita lihat sekarang ini, United Nations tidak bisa memerankan itu," kata Jokowi.
Selama peringatan 60 tahun KAA, setidaknya Jokowi akan berpidato dua kali. Pertama adalah pada pembukaan konferensi tanggal 23 April, disusul kemudian menghadiri napak tilas di Bandung, pada 24 April.
Dalam catatan merdeka.com, ini pertama kalinya ada kritik terbuka Jokowi terhadap kinerja PBB. Sebelumnya, presiden ke-7 RI ini sebatas menyindir soal kurang maksimalnya organisasi internasional itu menyokong kemerdekaan Palestina.
Sindiran Jokowi itu disampaikan di hadapan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada KTT Asia Timur di Myanmar pada November 2014.
"Kita mendukung penuh kemerdekaan Palestina dan kita mengharapkan peran PBB lebih nyata, lebih konkret, dan riil," kata presiden setelah bertemu Ki-moon.
Hubungan antara pemerintahan Jokowi dengan PBB tak terlalu mulus enam bulan terakhir. Selain isu Palestina, Ki-moon pernah mencoba mengingatkan Indonesia agar batal mengeksekusi mati terpidana mati narkoba.
Melalui juru bicaranya, Ki-moon mengaku telah menghubungi Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi soal isu Bali Nine. Dia mendesak Indonesia agar
mempertimbangkan ulang keputusan menghukum mati warga asing.
mempertimbangkan ulang keputusan menghukum mati warga asing.
" PBB menentang pelaksanaan hukuman mati dengan alasan apapun. Sekjen meminta Indonesia mempertimbangkan ulang vonis eksekusi terhadap pelaku kejahatan narkoba," kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric.
Saat ada manuver soal hukuman mati itu, Jokowi tidak berkomentar. Pernyataan keluar dari anak buahnya, semisal, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. "Ini bukan soal apa, tapi tentang perang terhadap narkoba dan orang-orang bandar di dalam lapas bisa mengatur-atur transaksi narkoba. Sampai sekarang, kebijakan kami tetap konsisten. Kami tidak akan lemah karena tekanan," ujarnya.
Selama Indonesia masih menjalankan hukuman mati, kemungkinan akan terus muncul tekanan dari PBB. Lembaga antar negara itu mendesak semua anggota agar tak lagi menerapkan hukuman yang dianggap kejam.
Sudah ada 140 negara yang kini menghapus hukuman mati. Selain Indonesia, negara besar tetap mengadopsi hukuman mati adalah Amerika Serikat, Arab Saudi, dan China.
Sumber : Merdeka