Jakarta (MI) : PT Dirgantara Indonesia (PT DI) saat ini sedang memproduksi pesawat mini jenis N-219. Pesawat yang khusus untuk transportasi antarkota dengan jarak tempuh 200 kilometer tersebut akan diproduksi masal tahun depan.
"Saat ini progressnya dalam tahap penelitian. Harapan saya di Agustus ini pas Hari Teknologi Nasional, produk itu sudah menjadi roll out. Roll out ini, produk tersebut sudah menjadi pesawat. Tinggal uji coba terbang," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir di kantornya saat wawancara khusus dengan merdeka.com, Kamis 9 April lalu.
"Setelah uji coba terbang, di akhir 2015, harapan saya sudah menjadi mendapatkan sertifikat. Kalau sudah mendapatkan sertifikat, berarti tahun 2016, sudah bisa diproduksi," imbuhnya.
Nasir mengakui jika pesawat buatan Indonesia ini, sudah melakukan studi pasar. Hasilnya, 200 unit pesawat akan diproduksi sesuai dengan pesanan.
"Peminatnya ada dari, Sriwijaya Air, Trigana Air, Susi Air. Ini kan pesawat perintis jumlah penumpang 19 orang. Keunggulannya tidak butuh landasan panjang cukup 550 meter," ujarnya.
Lebih jauh, Nasir menjelaskan bahwa pesawat yang sedang dibuat ini, memiliki kualitas yang tak jauh beda dengan pesawat luar negeri. Komponen-komponennya 60 persen dari luar negeri, sisanya 40 persen dari dalam negeri. "Ke depan komponen dalam negerinya akan kita tingkatkan jadi 60 persen," sesumbar pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur.
Berikut wawancara lengkapnya:
Bagaimana progres pesawat mini N219?
Saat ini progressnya, sekarang tahap penelitian. Harapan saya di Agustus nanti pas Hari Teknologi Nasional, produk itu sudah menjadi roll out. Roll out ini, produk tersebut sudah menjadi pesawat. Tinggal uji coba terbang. Setelah uji coba terbang, di akhir 2015, harapan saya sudah menjadi mendapatkan sertifikat. Kalau sudah mendapatkan sertifikat, berarti tahun 2016, sudah bisa diproduksi.
Berapa cost untuk penelitian pesawat ini?
Totalnya itu yang dikeluarkan 5,2 juta Dolar per unit pesawat. Kalau kita ambil keuntungan 10 persen, 5,2 juta ditambah 550, jadi 5,6 sampai 5,7 juta dolar. kompetitornya, 7 juta 7,5 juta dolar, Kanada, Amerika. Kalau kita lihat dari produk kualitasnya kita tidak kalah. Karena kokpit, produk dari AS, ini dari Kanada, nah komponennya itu karena bagian dari impor, sebagian dari dalam negeri 40 persen, diharapkan ke depan harus meningkat jadi 60 persen dalam negeri.
Bagaimana kualitas?
Kita tidak kalah. Karena kemudi di kokpit buatan luar negeri. Nah, komponennya itu ada produk dalam negeri. Sekitar 40 persen. Diharapkan ke depan komponen dalam negeri 60 persen.
Optimis 2016 bisa diproduksi?
Saya kok lihatnya ini optimis ya di 2016.
Alasannya?
Alasannya, pertama sekarang sudah tahap produksi, saya sudah lihat sendiri. Memang ada kendala anggaran, kekurangan Rp 67 miliar nanti saya minta tolong ke Bappenas untuk uji sertifikasi.
Kira-kira nanti ada peminatnya?
Peminatnya, ada. Sebelum dilanjutkan saya minta studi pasar, potential market. Jadi tahu ini pesawat bakalan laku enggak. Tapi ternyata, ada yang minat. Total 200 unit yang minat.
Siapa saja peminatnya?
Peminatnya ada dari, Sriwijaya, Lion, Trigana Air. Totalnya 200. Ini kan pesawat perintis jumlah penumpang 19 orang. Ini untuk perintis. Umpamanya sini Cirebon, kan 4 jam, sini Cilacap butuh 8 jam, dengan ini cukup satu jam. Lalu runaway, keunggulannya tidak butuh landasan panjang cukup 550 meter, biasanya 1,4 km.
Adopsi dari mana?
Itu kan Indonesia dulu punya produksi N250. Harganya sangat mahal, akibatnya pasar enggak laku, karena terlalu mahal, dan itu besar. Akhirnya di downgrade, dikecilkan. Kalau itu kelasnya diturunkan, berarti manfaatnya jauh lebih besar.
Itu terkait dengan industri penerbangan Indonesia?
Iya, kalau untuk menjangkau antarkota bisa dilakukan, ini akan menjadikan kebutuhan sangat besar. Sementara kapasitas produksi PT DI hanya 24 satu tahun. 24 setahun, produksi 200 apa selesai 5 tahun, apa solusinya, ekspansi.
Kalau ini bisa jadi oke, riset mau lakukan lagi. Katakanlah dari 19 ditingkatkan jadi 40 atau 50 riset lagi kan pasarnya. Kalau itu oke, pindah ke depan ke jet. Jet kita pernah mampu, tapi harga jualnya enggak mungkin. Kan secara ekonomi harus naik. Supply dan demand harus diperhatikan. Kalau ada demand enggak ada supply-nya wassalam.
Maskapai nasional ke depannya apakah harus pakai produk-produk ini?
Kami harus berbicara tentang dalam pasar persaingan sempurna. Jangan paksakan seseorang harus beli ini pasar enggak sehat. Thailand sudah minat, Filipina, tinggal kapasitas produksi. Kalau sudah jadi, maskapai harus beli dari pemerintah, tidak. Itu namanya muluk-muluk, enggak boleh. Kami ingin perfect competition, supaya bisa bersaing di pasar itu: satu quality, dua masalah pricing, ketiga services. Kalau kualitas pasti, harga, harga baik, quality baik, tapi layanan ada kerusakan, itu jadi masalah.
"Saat ini progressnya dalam tahap penelitian. Harapan saya di Agustus ini pas Hari Teknologi Nasional, produk itu sudah menjadi roll out. Roll out ini, produk tersebut sudah menjadi pesawat. Tinggal uji coba terbang," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir di kantornya saat wawancara khusus dengan merdeka.com, Kamis 9 April lalu.
"Setelah uji coba terbang, di akhir 2015, harapan saya sudah menjadi mendapatkan sertifikat. Kalau sudah mendapatkan sertifikat, berarti tahun 2016, sudah bisa diproduksi," imbuhnya.
Nasir mengakui jika pesawat buatan Indonesia ini, sudah melakukan studi pasar. Hasilnya, 200 unit pesawat akan diproduksi sesuai dengan pesanan.
"Peminatnya ada dari, Sriwijaya Air, Trigana Air, Susi Air. Ini kan pesawat perintis jumlah penumpang 19 orang. Keunggulannya tidak butuh landasan panjang cukup 550 meter," ujarnya.
Lebih jauh, Nasir menjelaskan bahwa pesawat yang sedang dibuat ini, memiliki kualitas yang tak jauh beda dengan pesawat luar negeri. Komponen-komponennya 60 persen dari luar negeri, sisanya 40 persen dari dalam negeri. "Ke depan komponen dalam negerinya akan kita tingkatkan jadi 60 persen," sesumbar pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur.
Berikut wawancara lengkapnya:
Bagaimana progres pesawat mini N219?
Saat ini progressnya, sekarang tahap penelitian. Harapan saya di Agustus nanti pas Hari Teknologi Nasional, produk itu sudah menjadi roll out. Roll out ini, produk tersebut sudah menjadi pesawat. Tinggal uji coba terbang. Setelah uji coba terbang, di akhir 2015, harapan saya sudah menjadi mendapatkan sertifikat. Kalau sudah mendapatkan sertifikat, berarti tahun 2016, sudah bisa diproduksi.
Berapa cost untuk penelitian pesawat ini?
Totalnya itu yang dikeluarkan 5,2 juta Dolar per unit pesawat. Kalau kita ambil keuntungan 10 persen, 5,2 juta ditambah 550, jadi 5,6 sampai 5,7 juta dolar. kompetitornya, 7 juta 7,5 juta dolar, Kanada, Amerika. Kalau kita lihat dari produk kualitasnya kita tidak kalah. Karena kokpit, produk dari AS, ini dari Kanada, nah komponennya itu karena bagian dari impor, sebagian dari dalam negeri 40 persen, diharapkan ke depan harus meningkat jadi 60 persen dalam negeri.
Bagaimana kualitas?
Kita tidak kalah. Karena kemudi di kokpit buatan luar negeri. Nah, komponennya itu ada produk dalam negeri. Sekitar 40 persen. Diharapkan ke depan komponen dalam negeri 60 persen.
Optimis 2016 bisa diproduksi?
Saya kok lihatnya ini optimis ya di 2016.
Alasannya?
Alasannya, pertama sekarang sudah tahap produksi, saya sudah lihat sendiri. Memang ada kendala anggaran, kekurangan Rp 67 miliar nanti saya minta tolong ke Bappenas untuk uji sertifikasi.
Kira-kira nanti ada peminatnya?
Peminatnya, ada. Sebelum dilanjutkan saya minta studi pasar, potential market. Jadi tahu ini pesawat bakalan laku enggak. Tapi ternyata, ada yang minat. Total 200 unit yang minat.
Siapa saja peminatnya?
Peminatnya ada dari, Sriwijaya, Lion, Trigana Air. Totalnya 200. Ini kan pesawat perintis jumlah penumpang 19 orang. Ini untuk perintis. Umpamanya sini Cirebon, kan 4 jam, sini Cilacap butuh 8 jam, dengan ini cukup satu jam. Lalu runaway, keunggulannya tidak butuh landasan panjang cukup 550 meter, biasanya 1,4 km.
Adopsi dari mana?
Itu kan Indonesia dulu punya produksi N250. Harganya sangat mahal, akibatnya pasar enggak laku, karena terlalu mahal, dan itu besar. Akhirnya di downgrade, dikecilkan. Kalau itu kelasnya diturunkan, berarti manfaatnya jauh lebih besar.
Itu terkait dengan industri penerbangan Indonesia?
Iya, kalau untuk menjangkau antarkota bisa dilakukan, ini akan menjadikan kebutuhan sangat besar. Sementara kapasitas produksi PT DI hanya 24 satu tahun. 24 setahun, produksi 200 apa selesai 5 tahun, apa solusinya, ekspansi.
Kalau ini bisa jadi oke, riset mau lakukan lagi. Katakanlah dari 19 ditingkatkan jadi 40 atau 50 riset lagi kan pasarnya. Kalau itu oke, pindah ke depan ke jet. Jet kita pernah mampu, tapi harga jualnya enggak mungkin. Kan secara ekonomi harus naik. Supply dan demand harus diperhatikan. Kalau ada demand enggak ada supply-nya wassalam.
Maskapai nasional ke depannya apakah harus pakai produk-produk ini?
Kami harus berbicara tentang dalam pasar persaingan sempurna. Jangan paksakan seseorang harus beli ini pasar enggak sehat. Thailand sudah minat, Filipina, tinggal kapasitas produksi. Kalau sudah jadi, maskapai harus beli dari pemerintah, tidak. Itu namanya muluk-muluk, enggak boleh. Kami ingin perfect competition, supaya bisa bersaing di pasar itu: satu quality, dua masalah pricing, ketiga services. Kalau kualitas pasti, harga, harga baik, quality baik, tapi layanan ada kerusakan, itu jadi masalah.
Sumber : Merdeka