Sepenggal Kisah Polisi Perbatasan dan Ojek Antarnegara di Ujung Timur Indonesia


MERAUKE (MI)Matahari kian tinggi ketika kami menyusuri perjalanan sejauh 80 kilometer dari Merauke ke Sota. Setelah satu jam perjalanan melewati rawa-rawa dan kawasan Taman Nasional Wasur di Papua, bus yang kami tumpangi tiba di ujung timur "Bumi Cendrawasih".
Pemandangan hutan pohon kayu putih dan akasia dengan rumah-rumah semut setinggi 2 meter hingga 3 meter di TN Wasur, sungguh menghibur perjalanan ke perbatasan. Memasuki Distrik Sota, sebuah tugu dengan patung burung Garuda di atasnya menyambut para pendatang. Ini adalah tugu penanda titik nol kilometer Indonesia. Tugu semacam ini juga terdapat di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Sabang, Nanggro Aceh Darussalam. Keduanya dikenal sebagai tugu kembar Sabang-Merauke.
Distrik Sota merupakan salah satu kawasan paling timur Indonesia dan bersebelahan langsung dengan negara tetangga, Papua Nugini. Kawasan ini tidak hanya ditinggali oleh warga asli daerah setempat. Ada banyak warga pendatang di sana, termasuk dari Pulau Jawa, yang memilih bertempat tinggal dan mencari nafkah di wilayah perbatasan.
Salah satu warga di sana adalah Ma'ruf Suroto. Profesinya sebagai polisi menempatkan pria asal Magelang, Jawa Tengah, sebagai penjaga pos perbatasan Sota. Tugas ini sudah ia jalani sejak 1993.
Ma'ruf menemui kami dengan ramah. Tak ada senjata di pinggangnya. Sambil mengulurkan tangan kanan, pria 48 tahun itu pun menyapa kami. "Halo, apa kabar? Oh, para wartawan rupanya," ujar pria tersebut saat menunjuk seorang wartawan yang menggunakan seragam kerja.
Ia memperkenalkan diri sebagai Kepala Kepolisian Sektor Sota berpangkat Inspektur Dua (Ipda). Bagi sebagian wartawan, nama Ma'ruf tidaklah terlalu asing. Kisah perjuangannya sebagai polisi penjaga pos perbatasan kerap mengisi halaman media massa. Ia juga pernah mendapat penghargaan sebagai polisi berprestasi selama bertugas di sana.
Kami berbicara banyak dengan pria bersahaja tersebut. Melalui kisahnya, menjadi penjaga perbatasan terdengar bukan hal yang mudah dijalani.
Ada lima kampung di Distrik Sota, yang masing-masing kampung berjarak lebih kurang 50 kilometer. Dalam sehari, Ma'ruf maupun rekan-rekannya di Polsek Sota bisa 5-6 kali bolak-balik menempuh jarak puluhan kilometer dari Sota ke Papua Nugini.
Jalan yang dilaluinya tidak mudah ditaklukkan. Lokasi perbatasan itu berada di kawasan hutan. Jalannya berlumpur dan sebagian besar dipenuhi rawa. Sesekali Ma'ruf harus melawan derasnya arus sungai di tengah hutan menuju Papua Nugini.
Medan berat bukan satu-satunya tantangan bagi polisi di tapal batas. Menurut Ma'ruf, Polsek Sota hanya memiliki 19 personel kepolisian. Jumlah tersebut tentu tidak seimbang dengan tugas menjaga keamanan lima perkampungan di kawasan itu.
"Memang kita kekurangan sekali. Idealnya paling tidak ada 40 personel. Jadi bisa disesuaikan dengan kebutuhannya," kata Ma'ruf.
Dengan segala keterbatasan itu, Ma'ruf tetap pantang menyerah menjalankan tugas menjaga perbatasan RI. Ia mencintai tugasnya sebagai benteng terakhir di timur Nusantara. Perasaan bangga menyelimuti kisahnya mengabdi menjaga kedaulatan negara.

Ojek antarnegara

Masih di Distrik Sota, tak jauh dari tugu kembar di titik nol kilometer, kami bertemu dengan tiga pria penduduk asli Merauke. Ketiganya tampak sedang berteduh di bawah sebuah pohon besar, menghindar dari terik matahari yang membakar kulit siang itu.
Di dekat mereka, ada dua sepeda motor trail. Bagian belakang motor terisi penuh dengan barang bawaan. Dengan kendaraan itulah, Otniel bersama kedua rekannya mengantar bahan makanan dari Indonesia untuk warga Papua Nugini. "Kami ini tukang ojek, tapi ojek ke luar negeri," kata Otniel sambil tertawa.



Pekerjaan yang mereka lakukan tak bisa dianggap enteng. Perjalanan membelah hutan, menempuh jarak puluhan kilometer dengan beban bawaan mencapai 1 kuintal sekali jalan, dilakukan setiap hari.
Untuk sekali jalan, mereka biasanya mendapat upah antara Rp 300.000 dan Rp 400.000. Bayaran itu seperti tak sebanding dengan kerja keras menaklukkan medan perjalanan. Belum lagi membayangkan bahaya yang dihadapi saat mereka menjumpai hewan-hewan liar di tengah hutan.
Otniel dan temannya sudah biasa keluar-masuk Indonesia dan Papua Nugini. Tak perlu ada serangkaian birokrasi panjang untuk memasuki negara tetangga. Untuk melintas, mereka cukup menyapa para penjaga di perbatasan.
"Kami pakai paspor tradisional. Lagi pula semua sudah kenal, jadi tidak perlu lagi pakai paspor resmi," kata Otniel. Meski terpisah batas negara, mereka merasa bagaikan saudara.
Bagi warga Papua Nugini di sekitar perbatasan, keberadaan penyalur bahan makanan sangatlah penting. Hal itu karena warga di daerah tersebut begitu kesulitan mendapatkan sumber-sumber kebutuhan pokok dari negaranya sendiri.
Menurut Ma'ruf, banyak warga Papua Nugini di perbatasan yang meninggal akibat kelaparan karena sulitnya mendapatkan bahan makanan. Itu sebabnya kehadiran tukang ojek antarnegara seperti Otniel mendapat "perlakuan istimewa" ketika mereka mengantar bahan keperluan hidup bagi warga Papua Nugini.








Sumber : KOMPAS