Merdeka (MI) : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) segera mengganti pesawat F-5 Tiger yang sudah mulai uzur. Pergantian ini dilakukan guna meningkatkan kekuatan tempur TNI dalam menghadapi intervensi dari bangsa asing yang bisa saja mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pesawat-pesawat tempur yang diincar Indonesia antara lain, F-16 Block 52+ Fighting Falcon, Eurofighter Typhoon, dan Sukhoi Su-35. Namun, hanya Su-35 yang belum teruji kehebatannya di medan pertempuran. Bahkan, Prancis sempat memamerkan jet tempurnya, bernama Dassault Rafale.
Di tengah rencana pembelian tersebut, Indonesia ternyata pernah memiliki misi rahasia untuk membeli pesawat tempur terbaru. Adalah A-4 Skyhawk, sebuah jet tempur milik Israel, yang diincar TNI AU saat itu untuk menggantikan F-86 Sabre dan T-33 Thunderbird yang sudah mulai senja usianya.
Saat itu, Mabes ABRI tengah mencari pesawat baru untuk memperkuat armadanya di seluruh Indonesia. Dari AS, TNI hanya mendapat 16 pesawat F-5 E/F Tiger II, dan jumlah tersebut dianggap tak cukup untuk melengkapi seluruh skadron tempur. Dari informasi yang diterima intelijen, terdengar Israel akan menjual 32 pesawat tempur A-4 Skyhawk milik mereka.
Lewat biografinya berjudul 'Menari di Angkasa', Djoko F Poerwoko, salah satu penerbang andalan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), ditugaskan untuk ikut dalam sebuah pelatihan. Namun, dia tak pernah menyangka lokasi tempatnya berlatih bukan lah AS, melainkan Israel. Seluruh proses pembeliannya diatur oleh petinggi ABRI yang saat itu dipimpin oleh Benny Moerdani.
Dari sejumlah pilot TNI AU, Djoko Poerwoko dipilih untuk menjadi salah satu penerbangnya. Karena sifatnya yang serba rahasia, Dia dan beberapa rekannya hanya tahu mereka akan dibawa ke AS untuk berlatih mengoperasikan F-5 E/F Tiger II.
Djoko dan sembilan rekannya merupakan gelombang terakhir untuk mempelajari alutsista baru. Sebagai tim terakhir, Djoko mendapat pembekalan khusus di Mabes TNI AU. Awalnya mereka mengira akan berangkat ke AS untuk belajar terbang di sana, namun tidak ada informasi lain soal rencana tersebut.
Mereka pun diberangkatkan ke Singapura dari Bandara Halim Perdanakusuma dengan menggunakan maskapai Garuda Indonesia. Setelah mendarat, Djoko dibawa ke sebuah hotel. Di tempat ini, beberapa anggota intel dari Mabes ABRI sudah menunggunya, termasuk Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI, sekarang BAIS), Mayjen Benny Moerdani yang lantas memberikan sedikit maklumat.
"Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu silakan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan dianggap berhasil, apabila 'sang merpati' (A-4 Skyhawk Israel) telah hinggap," tegas Benny saat mengajak Djoko dan rekannya makan malam bersama.
Mengingat Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, misi rahasia ini diberi nama Operasi Alpha. Seluruh pembelian pesawat hingga pelatihan para penerbangnya dibuat secara rahasia.
Saat itu pula, seluruh paspor yang dibawa diambil dan diganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Nama pun ikut diganti dan harus dihafal saat itu juga. Setelah makan malam, mereka bergegas menuju Bandara Paya Lebar Singapura dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa.
Sejak malam itu, mereka tidak boleh bertegur sapa, lokasi duduk pun diatur secara terpisah namun masih sebatas jarak pandang. Setelah sampai di Jerman, mereka lantas berganti pesawat dan kembali berangkat menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel.
"Perjalanan semakin aneh, baru saja berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan berikutnya tersebut, yaitu ke Tel Aviv. Sampai di Bandara Ben Gurion Tel Aviv sesudah terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus ke mana jalan, cuma mengikuti arus penumpang lain yang menuju pintu keluar," tulis Djoko.
Tanpa disangka, di tengah perjalanan mereka langsung ditangkap petugas keamanan bandara Ben Gurion. Mereka pun hanya pasrah, karena mengira telah ditangkap agen rahasia Mossad dan menduga dirinya sebagai penyusup ke negeri tersebut. Apalagi, mereka tiba tanpa menggunakan paspor. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dibenaknya, termasuk sanksi yang bakal mereka terima nanti.
Perasaannya mulai tenang saat tiba di ruang bawah tanah, sebab terdapat sejumlah perwira BIA yang terlibat dalam operasi Alpha dan menunggu mereka di sana. Dari keterangan para perwira itu, Djoko baru menyadari bahwa penangkapan itu adalah kamuflase, untuk memudahkan mereka keluar dengan cepat tanpa diketahui banyak orang.
Setelah diberikan briefing singkat, seluruh barang bawaan mereka kembali digeledah. Seluruh barang berbau Indonesia disita, bahkan mereka diajari untuk berbicara bahasa Ibrani sebelum dibawa ke sebuah hotel.
Keesokan harinya, Djoko diangkut dengan mobil van menuju Kota Eliat yang berada di selatan Israel. Untuk mencapainya, mereka harus menyusuri Laut Mati, padang pasir dan melalui beberapa pos jaga selama dua hari sebelum tiba di sebuah pangkalan tempur besar. Pangkalan ini tidak memiliki nama pasti, dan bisa berubah kapan saja.
Sesuai kesepakatan bersama, Djoko dan rekannya menyebut tempat ini dengan 'Arizona', karena dalam skenario awal mereka disebutkan akan berlatih terbang di Amerika. Latihan pun berlangsung selama enam bulan, mulai dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur Israel.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris, sedangkan Djoko dan rekannya tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail. Bahkan pengawasan dilakukan secara ketat, sehingga setiap penerbangan selalu dikawal sebuah pesawat tempur.
Latihan ini berakhir pada 20 Mei 1980, sebagai mana biasa keberhasilan seorang penerbang setelah menjalani pendidikannya, mereka menerima ijazah dan brevet dari Israel Air Force (IAF). Namun, kebanggaan tak berlangsung lama, karena brevet dan ijazah langsung dibakar di depan mata mereka oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung.
Mereka lantas dikumpulkan di depan mess dan barang-barang mereka disita lalu dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama di pangkalan ini. Mereka hanya berpesan, "tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah ke sini. Maka hapalkan saja dikepala semua pelajaran yang pernah diperoleh!"
Selesai pendidikan, mereka langsung pulang ke Indonesia melainkan diterbangkan lebih dulu ke New York, AS. Tindakan ini dilakukan agar Djoko dan rekannya bisa melupakan kenangan tentang Israel. Tak hanya itu, uang saku pun diberikan dan jumlahnya cukup banyak bagi seorang berpangkat Letnan Satu.
Mereka juga dibelikan kamera Olympus F-1 lengkap dengan filmnya, dan wajib mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia untuk menguatkan alibi, mereka sedang menjalani pendidikan terbang di AS. Alhasil, setiap objek yang berbau tanda medan atau AS langsung dipakai sebagai latar foto mereka, tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah bila ada tulisan United State of America.
Selain ke New York, para penerbang juga diberikan program tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal. Di Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Selama tiga hari, mereka dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya.
Seperti sebelumnya, mereka juga wajib berfoto, seakan-akan baru diwisuda sebagai penerbang A-4, sekaligus menerima ijazah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi Madiun yang mengangkut F-5 E/F Tiger II dan paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus berlabel F-5. Gelombang demi gelombang pesawat A-4 datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.
Ketika kembali ke pangkalannya di Madiun, Djoko menghadap atasannya dan memberikan bukti bahwa mereka berlatih di Akademi AU di Colorado, AS. Melihat foto-foto itu, atasannya lantas berkata, "Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?"
Operasi ini tak pernah tercatat secara resmi. Dalam buku pengabdian TNI AU dituliskan jika pesawat tersebut dibeli di AS.
Sumber : Merdeka