Jakarta (MI) : Presiden Joko Widodo akhirnya menegaskan sikap dalam kisruh Laut China Selatan, setelah lima bulan menjabat. Dalam wawancara dengan Surat Kabar Jepang, Yomiuri Shimbun, Senin (23/3), Jokowi menilai China perlu hati-hati menentukan peta perbatasan lautnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terancam dirugikan karena aksi China menggambar sembilan titik wilayah baru di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Jika dilihat sekilas, perairan kaya gas itu terkesan masuk wilayah kedaulatan China. Menurut Kementerian Luar Negeri, klaim China melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik RI.
"Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tingkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun," kata presiden.
Indonesia sudah mengajukan keberatan atas sembilan titik itu pada 2009 ke Komisi Landas Kontinen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Adapun, hubungan RI-China relatif masih baik dalam isu Laut China Selatan, dibandingkan sengketa yang terasa antara China-Vietnam atau China-Filipina.
Dasar China menggambar sembilan titik itu didasarkan pada klaim mereka atas Kepulauan Spratly. Pulau ini masih dalam status sengketa dengan Filipina serta Vietnam. Bila China bisa lebih arif saat menghadapi sengketa Laut China Selatan, menurut Jokowi,situasi kawasan akan lebih kondusif.
"Kami mendukung Code of Conduct terkait Laut China Selatan, serta dialog antara China dan Jepang, dan China-ASEAN," kata Jokowi.
Pernyataan itu disampaikan Jokowi selama melawat ke Jepang. Indonesia merangkul Negeri Matahari Terbit untuk kerja sama pertahanan.
Sekadar informasi, konflik di Laut China Selatan melibatkan 6 negara, yakni Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, China dan Taiwan. Setiap negara berusaha mematok landas kontinen masing-masing, mengingat di perairan itu kaya sumber daya alam.
Sebagai ilustrasi, di perairan dekat China dan Vietnam, diperkirakan terkandung 17,7 miliar minyak mentah.
Selain itu, Laut China Selatan adalah jalur laut tersibuk dunia. Beijing lah yang memulai konflik ini dengan mengeluarkan peta pada 1947, memasukkan kepulauan milik Filipina dan Vietnam, dengan alasan sejarah.
Konflik bersenjata terakhir akibat Laut China Selatan terjadi pada 1988. Saat itu Angkatan Laut Vietnam diusir dari Kepulauan Spratly. Vietnam kehilangan 60 tentaranya akibat pertempuran singkat tersebut.
Sumber : Merdeka