Sang Pendamping yang (nyaris) Terlupakan


ARC (MI) : Kedatangan 2 buah jet tempur Rafale memang mengundang decak kekaguman. Kagum akan aksi aerobatik serta tentu saja kagum atas usahanya dalam tender pengadaan pesawat tempur TNI-AU. Namun, dibalik decak kagum itu, ada satu hal yang nyaris luput dari hiruk pikuk atraksi jet tempur cantik itu. Yaitu, keberadaan pesawat angkut A-400M, yang pada hari demo itu diparkir terpojok jauh dari panggung utama. Meski diperlakukan demikian, peran A-400M sejatinya sangat vital dalam mendukung penampilan Rafale. Ingin tahu lebih dalam mengeni A-400M? simak tulisan Aryo Nugrohoberikut ini.

The European Hope
Penundaan bertahun-tahun tidak menyurutkan langkah konsorsium EADS-Airbus untuk menyelesaikan proyek FLA (Future Large Aircraft). Di dalam proyek ambisius ini, tergantung segala harapan kemandirian militer Eropa.
Jumat, 11 Desember 2009 menjadi hari bersejarah bagi seluruh negara Eropa yang tergabung dalam konsorsium EADS-Airbus. Setelah penundaan yang terjadi berkali-kali, pembengkakan biaya, dan masalah teknis serta non teknis lainnya, pesawat transpor A400M akhirnya lepas landas pukul 09.42 GMT dari Sevilla, Spanyol. Disaksikan oleh Raja Spanyol Juan Carlos, raksasa angkut medium Eropa ini lepas landas dengan mulus, dikomandoi oleh pilot Inggris Edward Strongman dan lima kru lainnya, satu kopilot dari Spanyol dan empat teknisi dari Prancis. Pesawat berkelir light grey dan berhiaskan tujuh bendera negara launch customernya ini menjalani penerbangan berdurasi 3 jam 47 menit di atas wilayah Extremadura, Selatan Spanyol. Lancarnya penerbangan perdana ini menggembirakan hati para petinggi EADS-Airbus, yang menghadapi rasa ketidaksabaran negara-negara anggotanya akan molornya waktu penyelesaian A400M. Bahkan sempat terbetik kabar, Jerman dan Prancis sudah di ambang pintu deal untuk memesan C-130J Hercules yang sudah siap produksi dan harganya lebih murah. Apalagi, status Jerman sebagai tulang punggung angkut berat operasi NATO di Afghanistan mengharuskan mereka untuk mencari pengganti C-160 Transall yang digunakan secara ekstensif. Jadi boleh dibilang, keberhasilan penerbangan ini adalah pembuktian tersendiri, tidak hanya bagi A400M namun juga bagi kemampuan produksi bersama antara negara-negara anggotanya.
Menyasar yang belum disasar
Awalnya dikenal sebagai program FLA, proyek ini lahir atas prakarsa Inggris, Jerman, dan Prancis. Jerman dan Prancis menginginkan penggantian untuk pesawat angkut medium C-160 Transall mereka, namun merasa tidak ada kandidat yang memadai di pasaran. Performa STOL (Short-Takeoff Landing) dan kemampuan mendarat di landasan kasar (unprepared runway) C-160 memang tak tertandingi oleh pesawat lainnya, namun daya angkutnya terbatas. C-130 sendiri punya kapasitas angkut memadai, namun tidak andal di landasan kasar. Padahal Jerman dan terlebih lagi Prancis, punya kepentingan di wilayah tanduk Afrika, yang memiliki infrastruktur pendukung yang minim. Maka pada 1982, Prancis (Aerospatiale), Jerman (MBB), Inggris (BAe), dan Lockheed menandatangani proyek kerja bareng untuk mendesain pesawat angkut pengganti C-130 dan C-160. Belakangan, Lockheed menarik diri dan mengerjakan C-130J, dan posisinya digantikan oleh Spanyol (CASA) dan Italia (Alenia).
A400M menjadi salah satu proyek militer paling ambisius di abad ke-20, dengan sasaran berupa ceruk diantara C-130 Hercules dan C-17 Globemaster III. Alih-alih menggunakan komponen yang sudah teruji di pasaran, seluruh bagian A400M dikembangkan sendiri oleh Airbus. Dengan target meminimalkan bobot bodi sebanyak mungkin agar kapasitas kargonya maksimal, material CFRP (carbon fibre reinforced plastics) diperkenalkan. Sangat kuat, ringan, dan tahan korosi, CFRP dijadikan material untuk sayap belakang, ramp door, dan sayap utama, yang menggendong empat mesin Europrop International TP-400 D6. Tiap mesin menggerakkan delapan bilah propeler buatan pabrikan Ratier-Figeac. Yang unik, para desainer A400M mengaplikasikan teknologi down between engines, atau yang dikenal sebagai counter rotation, dimana propeler di tiap mesin berputar ke satu titik temu. Efeknya, efisiensi mesin bisa meningkat 6-16% dibanding mesin dengan bilah yang berputar kearah yang sama, dan yang terpenting, mengurangi dampak fatal dari kegagalan mesin (critical engine). Teknologi ini juga membantu menurunkan luas bidang sayap utama dan sayap ekor horisontal yang diperlukan untuk memberi gaya angkat saat terjadi kegagalan mesin. Efeknya, sayap A400M memang terlihat agak tidak proporsional karena termasuk mini dibanding ukuran badannya yang terhitung besar.  
Beralih ke bodi, fuselage A400M sengaja dibuat gambot, dengan cross section yang melebihi C-130J-10, dan menawarkan volume angkut kargo dua kali lipat dari C-130H atau C-130J-10. Biarpun kapasitas angkut palet standar militernya sama, 7 M463L palet, namun berkat cross section yang lebih lebar, A400M bisa menawarkan fleksibilitas yang lebih besar. Ini akan terasa berguna untuk angkut taktis kendaraan militer seperti IFV/ranpur modern, yang rata-rata memiliki lapisan pelindung tambahan. Sebagai catatan, kendaraan angkut pasukan Stryker milik AS harus dilolosi dulu slat armornya sebelum masuk ke C-130J. Dengan A400M, masalah semacam ini tak akan ditemui. Selain kemampuan angkut kargonya, A400M bisa dengan cepat dikonfigurasi ulang menjadi ambulans udara (MedEvac), dengan 66 tandu standar NATO dan akomodasi bagi 25 petugas medik. Untuk operasi linud, tersedia pintu untuk terjun statis (parachutist door). Khusus untuk operasi khusus yang melibatkan terjun free-fall HALO/HAHO, A400M dilengkapi sistem rapid depressurization/pressurization sehingga bisa mengubah ketinggian terbang dengan cepat.
Sementara fitur terbaik terdapat di kokpit. Selain sistem kendali fly-by-wire, teknisi Airbus mencangkokkan full-glass cockpit yang simpel dan nyaman, dimana pilot mengakses seluruh informasi dari 9 layar LCD berukuran 6”. Dengan Flight Management Systems buatan Thales yang diadopsi dari milik A380, sidestick controller khas seluruh pesawat Airbus, sistem kontrol mesin digital FADEC, rasanya pilot militer kini akan semakin dimanjakan. Untuk mendukung pelaksanaan misi militer, tersedia paket MMMS (Military Mission Management Systems) dengan dua komputer misi yang mengendalikan penanganan kargo, menghitung muatan, dan termasuk menghitung variabel angin dan kecepatan pesawat untuk memastikan ketepatan penerjunan kargo (airdrop). MMMS juga mengontrol manajemen bahan bakar dan menghitung jarak operasional dengan gabungan bahan bakar dan beban kargo yang dibawa.

Dirundung masalah
Jika reaksi seorang CEO bisa dijadikan patokan ukuran optimisme akan keberhasilan produk barunya, bisa jadi orang ragu akan masa depan A400M. Bagaimana tidak, CEO Airbus Tom Enders menolak untuk membicarakan masalah pendanaan saat hendak diwawancarai dalam momen bersejarah tersebut. Bahkan sebelum penerbangan ini, Afrika Selatan sudah pula menarik diri sebagai salah satu pembeli ekspor A400M, menyisakan Malaysia sebagai pembeli ekspor tunggal. Ya, A400M memang dirundung masalah ekonomi, geopolitik, dan teknis yang bertubi-tubi.
Dari segi ekonomi, A400M sudah dicap sebagai produk yang merugi. Pangkalnya, adalah sistem set price agreement (SPA) yang dipakai untuk membiayai proyek ini. Alih-alih menghitung seluruh biaya di belakang dan baru menghitung biaya jual berdasar biaya tersebut, metode SPA menghitung di depan berdasar asumsi-asumsi yang tidak pasti. Akibatnya, begitu terjadi penundaan, efeknya langsung berimbas pada pembengkakan biaya (cost overruns). Dari dana yang tadinya dibayarkan sejumlah 20 miliar Euro, Airbus meminta komitmen lagi sejumlah 5-8 miliar Euro. Itupun dengan catatan Airbus sudah menanggung rugi 2,3 miliar Euro untuk 180 pesawat pertama yang dipesan Jerman dan Prancis. Masalah bertambah pelik, saat Airbus memperkirakan bahwa A400M operasional pertama baru akan diserahkan ke AU Prancis sebagai launch customer pada akhir 2012, sementara Jerman yang hendak mengambil 60 pesawat dengan konfigurasi terbaik, baru menerimanya paling cepat 2013. Sebenarnya buat Jerman dan Prancis, akan lebih mudah untuk memesan saja C-130J yang sudah siap terbang, apalagi di masa krisis ekonomi dimana anggaran militer sudah pasti dipotong habis-habisan. Akan tetapi, ada pula faktor geopolitik yang harus dipertimbangkan. Masalah utama tentu adalah kemandirian militer Eropa, sebagai payung pendukung kesatuan Uni Eropa. Bagi Prancis, mereka tidak mau mengulangi kesalahannya saat melancarkan operasi Leopard di Zaire tahun 1978, dimana mereka harus meminjam C-130 AS. Dan masalah yang paling penting, tentu adalah gejolak sosial yang bisa meletus bila A400M dibatalkan. Dengan memesan A400M, maka proyek ini akan menghidupi ribuan pekerja Airbus, EADS, dan subkontraktor lainnya di Eropa. Dalam krisis ekonomi dunia yang mendera negara-negara maju, masalah ini menjadi isu sensitif, karena tentunya Eropa tidak akan membiarkan devisanya lari ke AS untuk C-130J. Boleh jadi, faktor komitmen inilah yang akan menyelamatkan proyek A400M, melebihi segala keunggulan teknis yang ditawarkannya. 
Among The Contenders
Untuk mempermudah pembaca melihat kelas medium-heavylift yang disasar A400M, berikut merupakan perbandingan kemampuan A400M melawan pesawat angkut AS. Kelihatan bahwa A400M mengisi ceruk lowong antara C-130J dan C-17. Namun satu catatan, ketika bahan bakarnya diisi penuh, kapasitas angkut A400M tidak beda jauh dengan C-130J. Untuk negara yang punya armada pengisi bahan bakar diudara (aerial refuelling), bisa jadi pikir-pikir ulang saat mau mengakuisisi A400M yang harganya 4x lebih mahal.

Spesifikasi Teknis
Dimensi (PxLxT)        : 45,1x14,7x42,4m
Max. Take-off Weight : 141,000 kg  
Max. Landing Weight    : 122,000 kg  
Maximum Payload         : 37,000 kg  
Bobot kosong        : 70 ton
Mesin        : 4x Europrop International TP-400 D6 dengan daya 11.000 shp per buah
Kapasitas bahan bakar: 47 Ton; 58 ton dengan tangki bladder di dalam ruang kargo
Kecepatan Jelajah        : 0,68-0,72 Mach
Ketinggian operasional: 37.000 kaki
Jarak jelajah        : 6.390km (dengan 20 ton bahan bakar); 6.390km (30 ton bahan bakar); 8.700km (ferry)
Kru                : 4 (2 pilot, 1 teknisi, 1 loadmaster)
Harga        : $100-166,7 juta







Sumber : ARC