Merdeka (MI) : Matahari bersinar terik di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Seorang kakek beruban dengan kemeja putih dan celana loreng bersandar di bawah pohon sambil menunggu pembeli dagangan kopi miliknya.
Tak banyak yang tahu bahwa kakek yang berusia 70 tahun lebih itu adalah seorang veteran TNI berpangkat sersan dua di kesatuan Artileri Pertahanan Udara. Dia kenyang makan asam garam dalam berbagai pertempuran.
Kini, Slamet harus berjibaku dengan kerasnya Jakarta berjualan kopi dan gorengan untuk menyambung hidup.
"Kopi dek?" sapanya kepada merdeka.comsaat ditemui di Jatinegara, Jumat (27/3).
Sambil mengaduk kopi dagangannya dia berkisah. Dia terpaksa berjualan kopi untuk menyambung hidup di Jakarta, semenjak pensiun Tahun 1992.
Slamet dulu masuk anggota artileri pertahan udara (Arhanud) di Surabayatahun 1964 saat berusia 21 tahun. Dia juga sempat ditugaskan ke Kapuas, Kalimantan Utara untuk menumpas pemberontakan PGRS/PARAKU.
Saat masih bertugas, Slamet biasa mengoperasikan meriam SU 57 dengan spesifikasi artileri sedang. Saat ditanya pengalamannya, Slamet dengan semangat dia bercerita. Namun saat bicara mengenai kondisi saat ini nada suara Slamet berubah. Dia menceritakan beratnya hidup di ibu kota.
Slamet tinggal di kawasan Gang Swadaya, Kampung Melayu. Dia mengontrak rumah yang ditempati bersama istri dan dua anaknya. Setiap hari, Slamet berjalan kaki ke Jembatan Hitam di Jatinegara dengan menenteng termos dan plastik berisi kopi. Kopi dijualnya seharga Rp 3.000 rupiah per gelas. Untung yang didapat tidak begitu besar.
"Kadang bisa bawa pulang Rp 50.000 kadang juga nggak sampai. Yang penting Alhamdulillah, masih bisa buat makan" katanya sambil senyum.
Bagaimana kisah selengkapnya?
Jam 04.00 WIB subuh, dia mulai bersiap untuk berdagang. Satu jam ditempuhnya ke lokasi berdagang. Jam 05.00 WIB hingga jam 21.00 WIB, Slamet berdagang di Jembatan Hitam.
Dulu dia mengoperasikan meriam melawan musuh negara. Kini Slamet merasakan pahitnya dianggap jadi 'musuh negara'. Dia harus berhadapan dengan Satpol PP yang galak menertibkan PKL.
"Saya sudah dua kali berhadapan sama Satpol PP. Barang barang saya dirampas gitu saja. Meja kursi milik saya dirampas dengan kasar, lapaknya habis diambil petugas," keluh Slamet.
Namun dia tetap semangat berjualan walau hanya beralaskan kardus dan beratap pohon beringin. Kondisi sang istri yang sakit-sakitan karena tua membuat uang pensiun sebesar Rp 2 juta nyaris tak tersisa.
"Saya kecewa tak dibantu untuk perumahan. Dulu 28 tahun mengabdi," katanya.
28 tahun ia berbakti kepada negara. Karirnya berakhir di pangkat sersan dua dan ditugaskan sebagai staf bintal (pembinaan mental) di Rindam Jaya cililitan.
Biarpun banyak pahit yang dirasakan namun dia tetap bangga sebagai seorang prajurit. Itulah Slamet, sosok veteran yang dulu mengoperasikan meriam kini terpaksa jadi penjual kopi di pinggir jalan.
Sumber : Merdeka