KEFAMENANU (MI) : Sekitar 70 orang warga Indonesia dan Timor Leste menggelar pertemuan secara adat di lokasi perbatasan antara kedua negara, yang pernah disengketakan dan berujung pada bentrok yang terjadi pada tahun 2013 lalu. Pertemuan itu untuk membahas perdamaian.
Pertemuan antara warga Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan warga Kecamatan Kota, Distrik Oeskusi, Timor Leste tersebut berlangsung di tanah Alit (nama nenek moyang yang pernah terbunuh di BPN (Batas Pilar Negara) tahun 1911 atau tanah sengketa Pos Nelu, Indonesia dan Leolbatan, Timor Leste), Minggu (17/5/2015).
Dalam pertemuan adat antara kedua warga beda negara yang masih memiliki kekerabatan itu, dilakukan dengan acara penyerahan ayam putih dan ayam merah serta sopi (minuman keras) oleh perwakilan dari Indonesia Anton Meko (Raja Manamas) dan perwakilan dari Timor Leste, Tjuje Anunu Meko (Raja Oekusi), dengan maksud mengundang roh leluhur untuk turut menyaksikan acara adat perdamaian konfik tahun 2013 supaya anak dan cucu kita tidak boleh bertikai kembali.
Selain itu juga untuk menanggalkan batu, tombak, parang dan panah agar warga kedua negara yang bertetangga, bisa hidup damai kembali dan apabila melanggar adat perdamaian ini, maka dia yang akan menanggung risikonya atau yang melanggar akan diperhadapkan kepada roh leluhur.
Hasil dari kesepakatan adat ini nantinya akan dibawa ke pertemuan pada bulan Juni 2015 di Dili, ibukota negara Timor Leste. Anton Meko (Raja Manamas) dalam pertemuan tersebut menyampaikan ucapan terima kasih karena pada hari ini masyarakat kedua negara bisa berkumpul dalam acara damai ini, sehingga masalah ssengketa tidak menjadi beban pikiran dari kedua belah pihak dan membebankan pada aparat keamanan.
“Kenapa satu rumpun keluarga harus ada masalah. Dengan adanya masalah ini, kita semua harus sadar dan berpikir lagi, agar tidak boleh adanya suatu perbedaan antara Nelu (Indonesia) dan Leolbatan (Timor Leste). Terkait masalah Patok Pilar Negara tahun 1911 yang dirusak, meskipun adat yang membangun, namun kita tetap mengharapkan bantuan pemerintah baik berupa semen ataupun pasir,” tegas Anton.
Sementara itu Tjuje Benardo Anunu Meko (Raja Oekusi) membenarkan apa yang telah disampaikan oleh Raja Manamas.
“Di sini batas negara yang memisahkan, tetapi batas adat tidak ada, maka kita harus satu hati untuk membangun kembali perdamaian supaya konflik tidak terjadi lagi. Kalau ada keributan kembali, maka yang melakukan keributan akan dipindahkan dari sini supaya perdamaian ini jangan ternoda dengan oknum yang tidak bertanggung jawab,” kata Tjuje.
“Saya minta pada generasi muda ke depannya jangan membuat konflik lagi. Kalau kita damai dan tidak ada konflik, maka pihak keamanan tidak sibuk hanya mengurusi kita. Sekali lagi terima kasih kepada kedua belah pihak, karena berhasil damai, saya meminta Batas Pilar Negara tahun 1911 yang rusak jangan sampai diganggu, agar kita semua bisa bersatu dan bisa membangun daerah ini, untuk masyarakat Nelu dan Leolbatan apabila membuka lahan di batas dipersilahkan, yang penting tidak ada lagi permasalahan,” sambungnya.
Acara pertemuan adat tersebut, dihadiri oleh, Letkol Inf Yudi Gumilar (Komandan Satgas Pamtas RI-RDTL Sektor Barat) ,Gaspar Nono (Sekretaris Badan Pengelola Perbatasan Daerah, Kabupaten TTU), Pelda Moses (Babinsa Kodim 1618/TTU) Sertu Ferdi Kuabib (Danpos Nelu), Lusianus Oematan ( Kepala Desa Sunsea ) dan Simon Kolo (Kepala Dusun Sunbaki ), yang mewakili Indonesia.
Sementara itu dari Timor Leste diwakili oleh Cancio Coa (Wakil Bupati Oekusi), Sargeto Carlos Luan (Komandan Pos UPF Leolbatan), Sargento Teo Colo (Wakil Komandan Pos UPF Leolbatan) Joni Ni Ballo (Ops Babinpol Costa), Amo Dasbac SVD (tokoh agama Oekusi), Aleixo Abi (Kepala Desa Costa), Lamberto Lalus (Kepala Dusun Lakucufoan) dan Joao Coa (Kepala Dusun Oet Fo).
Sumber : KOMPAS