Bandung (MI) : Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya di bidang satelit buatan Indonesia bisa dibilang belum masyhur benar. Misalnya satelit pengamat bumi eksperimen karya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), yang sampai kini terus dikembangkan.
Satelit pengamat bumi itu merupakan hasil penelitian Lapan yang dimulai sejak 2005. Pengerjaannya bekerja sama dengan universitas teknik berlin, Jerman. Bernama satelit mikro LAPAN-TUBSAT, awalnya diperkirakan berumur pendek, cukup dua tahun mampu beroperasi secara normal. Namun di luar dugaan satelit pertama karya anak bangsa itu mampu bertahan lebih dari perkiraan semula.
Bentuknya sederhana. Secara visualisasi satelitnya mirip bungkus sabun, dengan bentuk kotak seberat 57 kilogram dengan dimensi 45x45x27 sentimeter. Satelit buatan itu membawa sebuah kamera beresolusi tinggi dengan daya perekam lima meter dan lebar jangkauan sampai 3,5 kilometer permukaan bumi.
Proyek satelit mikro ini disetujui pemerintah pada 2003 dan rencananya diluncurkan pada Oktober, namun mengalami penundaan akibat salah satu muatan utama rocket carthosat 2 sebagai pendukung belum sempurna. Dua tahun kemudian, LAPAN-TUBSAT akhirnya mengorbit pada awal 2007 dari pusat antariksa Satish Dhawan milik India.
Satelit ini mampu menangkap pencitraan permukaan bumi seperti kebakaran hutan, gunung berapi maupun musibah alam lainnya. Dari data LAPAN yang diberikan kepada merdeka.com, ada sebuah contoh foto-foto hasil pencitraan di wilayah Tambang Grasberg, Papua sebuah gunung yang sudah berbentuk melingkar ke dalam membentuk legokan-legokan memanjang. Selain itu pada 2010 sebuah foto aktivitas erupsi gunung bromo juga berhasil dijepret satelit kotak sabun itu.
Pengembangan terus dilakukan. Pada 2008, LAPAN bersama ORARI memutuskan untuk mengembangkan satelit mikro kedua. Satelitnya mempunyai misi pengawasan dan komunikasi amatir. Untuk satelit LAPAN-A2 sepenuhnya dibuat di Indonesia, namun tetap dengan konsultan pembuat pendahulunya ke Jerman.
LAPAN A2 memiliki satelit sensor Automatic Identification System (AIS) yang mampu mengidentifikasi kapal laut melintas di wilayah laut Indonesia. Satelit itu mempunyai tiga misi, melakukan pengamatan bumi, pemantauan kapal, dan komunikasi radio.
Keunikannya lagi orbitnya secara horizontal sepanjang garis khatulistiwa atau biasa disebut ekuatorial. Satelit ini juga menjadi satelit pertama di dunia menggunakan orbit di garis tengah bumi.
Setahun kemudian berkembang LAPAN A3 bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) mempunyai misi pada bidang pertanian, khususnya lahan produksi pangan. Masih dalam pengembangan rencananya akan mulai berintegrasi pada tahun ini, lalu direncanakan selesai setahun kemudian.
Semua pengembangan sudah dilakukan di Indonesia. Sejak, 2011 semua satelit mikro dilakukan pada stasiun bumi pengendali dan penerima yang dilakukan di Indonesia. "Pengembangan dilakukan di Rumpin, Tangerang, dan di Rancabungur, Bogor," kata Ilmuwan senior LAPAN, Robertus Heru Triharjanto kepada merdeka.com melalui surat elektronik, Pekan lalu.
Sumber : Merdeka