Analisis (MI) : Suksesi Panglima TNI sudah diambang pintu, sebagaimana yang pernah dijalankan pemerintahan sebelumnya maka mestinya giliran Angkatan Udara mendapat kesempatan untuk menjadi TNI-1. Namun statemen Menteri Tejo yang menyatakan tidak otomatis Kepala Staf Angkatan Udara menjadi Panglima TNI pada akhirnya menimbulkan polemik berkepanjangan. Habis juga energi hanya untuk mencoba merubah tatanan yang sudah berjalan sebagaimana tatakrama, meski tak ada Undang-Undangnya
Harus bisa memilah antara visi dan figur. Kalau visinya tentang poros maritim atau menjadikan laut bukan sebagai punggung tetapi sebagai dada, dan lalu kita membusungkan dada sembari mengucap ini lautku mana lautmu. Tentu bukan berarti semuanya akan berwarna laut karena warna air laut biru itu juga karena warna langit biru. Jadi figur bisa dari matra apa saja dan ketika tiba giliran tentara langit untuk mendapat kesempatan, jalankanlah dengan biasa-biasa saja. Toh jenderal-jenderal bintang empat itu sudah tersaring dari serangkaian kompetisi gagah dan gigih baik uji visi, uji pikir, uji nyali, dan uji tempur.
Memang hak prerogatif Presiden untuk menentukan Panglima TNI tetapi Presiden tentu mendapat masukan dan “gosokan”. Nah gosokan ini yang perlu diwaspadai karena bisa saja terkontaminasi dengan virus-virus kepentingan apalagi ke depan belanja alutsista kita akan menjadi yang paling gede di ASEAN. Perlu juga diketahui bahwa Menkopolhukam kita itu kan mantan KSAL dan Menhan kita itu mantan KSAD, jadi kalau Panglima TNI kali ini dari Angkatan Udara, biasa aja tuh. Kok jadi repot mempermasalahkan sesuatu yang sudah berjalan bagus selama ini.
Konsep pertahanan yang dianut Republik ini tidak lagi berdasarkan “masuk dulu baru digebuk” tetapi mulai menerapkan kurikulum “berani masuk digebuk”. Untuk menjalankan kurikulum baru itu tentu harus punya Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang kuat. Kenyataannya kekuatan udara dan laut kita belum sampai pada kekuatan “berani masuk digebuk” tapi baru sebatas kiasan “berani masuk dipelototin”. Angkatan udara yang memiliki kualifikasi pre emptive strike yang kita dambakan itu minimal harus punya 4 skuadron Sukhoi dan 6 Skuadron F16 edisi terkini dan atau yang sekelas dengannya. Harus punya pesawat intai strategis, harus punya pesawat pembom strategis. Angkatan Laut juga demikian, minimal harus punya 4-5 Destroyer, 15-20 Fregat, 30-40 Korvet, 10 kapal selam. Itu kalau mau menjalankan kurikulum pre emptive strike yang sejati.
Panglima TNI dari tiga matra semuanya pantas dikedepankan untuk memimpin pasukan penjaga NKRI. Nah ketika pergantian itu tiba pada giliran Angkatan Udara, jalankanlah mekanisme itu karena figur Kepala Staf dari matra manapun sanggup menjalankan visi kemaritiman yang sekarang menjadi lagu wajib tak terbantahkan. Meneruskan tradisi yang sudah baik dari pemerintahan sebelumnya tentu akan memberikan nilai pandang yang bagus bagi pemerintahan sekarang. Tidak ganti kepemimpinan ganti kebijakan apalagi ternyata kebijakan itu karena pamrih atau adanya gosokan untuk kepentingan lain yang Presiden sendiri tidak tahu. Bukankah Presiden kita presiden yang polos.
Dukungan visi maritim dari sudut pandang militer tidak lain adalah mempunyai armada laut dengan kemampuan tempur jelajah dengan kapal perang sekelas fregat dan destroyer serta kapal selam herder. Kekuatan armada tempur laut itu mutlak harus didukung kekuatan Angkatan Udara yang berkualitas. Tidak mungkin armada laut dipayungi jet tempur Hawk, harus sekelas Sukhoi atau F16 edisi terakhir atau F-18 Hornet. Untuk mencapai kekuatan itu perlu waktu tetapi menetapkan figur untuk menjalankan cita-cita itu sangat elok melihat warna biru karena warna biru bukan hanya warna air laut, gunung juga dari jauh berwarna biru, apalagi langit cerah pasti berwarna biru. Jangan pula mengklaim warna biru dari partai saya dan itu sama dengan warna laut yang menjadi idola saya.
Tentara kita tidak boleh dicampuri dengan kepentingan politik. Yang jelas kemampuan tempur militer negara ini harus dibenahi, dibaguskan dan digaharkan. Tantangan teritorial ke depan tidak bisa hanya diplototin lalu kirim nota diplomatik. Kita harus punya militer yang kuat menjalankan kurikulum berani masuk digebuk. Tidak lagi ada kalimat nanti dulu untuk memperkuat militer kita. Bahkan melihat kondisi dinamis di kawasan ini percepatan pembangunan kekuatan itu menjadi syarat utama. Kalau hanya Hawk yang ditugaskan menjaga Natuna atau KCR 40 dan KCR 60, negeri Utara kita itu pasti bilang “gak nendang tuh”.
Siapapun yang memimpin TNI dia adalah orang terbaik dan ketika giliran Angkatan Udara yang harus memimpin, jalankan saja. Figur Panglima TNI dari tiga angkatan itu sanggup menjalankan visi dan misi kemaritiman. Jangan sampai ketika menunggu antrian tiket begitu tiba di depan loket, tiketnya habis padahal di belakang loket sedang ada transaksi. Jangan sampai model kedengkian di loket karcis itu terjadi dalam menentukan pantas dan tidak pantasnya figur untuk menjalankan visi. Ingat bukan hanya laut yang berwarna biru, gunung juga berwarna biru dan langit juga pemilik warna biru.
Sumber : Analisis